Tuesday, June 15, 2010

itu dirimu di situ

terpejam erat. tak mungkin terurai. terbelit terikat terjerat lekat. dalam tanya yang telah terjawab sebagian. dalam esok yang telah kujaring. dalam sunyi yang tetap sepi namun lebih tak bermakna. tapi sekali lagi, siapa butuh makna ketika dunia berakhir di 2012? hahahaha adalah jawabnya. seyumlah sekali lagi untuk selamanya.

menguning di dinding sama saja menunggu jadi biru. jadi batu dalam campuran semen dan pasir. kau coba saja rayu kuku-kuku kaki yang jadi lekat di ruang gelap dingin dalam sepatu. memangnya kita tak bisa lagi tangkap kupu-kupu? tanyamu usik mereka. sementara mereka kaku dan terperangkap bukan hanya dalam waktu tapi juga dalam sindikat-jahat bau kakimu. menerjemahkan lembab-agak-berjamur kaus kaki yang terguyur hujan sore tadi. saat kau ngebut yang tak terlalu dengan motor bututmu. tentu saja mereka terdiam. jadi patung, jadi bisu.

itu dirimu di situ. terinfeksi sudut terang ruang tidur operator mesin pengolah cahaya. terlepas dari karma karena kau tak lagi di dalamnya. tak penat lagi berbagi cerita. ini kita buka pintunya. pagi akan dimulai malam ini, mari masuk ke dalamnya. seperti sebelumnya, merunduk dan tersenyumlah. sungguh berarti tak dinilai dari apa yang kau miliki, tapi yang kau jatuhkan dalam sepi.

hidup adalah perbuatan


cerita dimulai ketika seperangkat alat sholat disodorkan kepada mempelai laki-laki. seorang kucing berbaju safari sebagai penghulunya. sebuah panci jadi saksi. sementara bunga matahari jadi pembawa acara yang sungguh berwibawa. sembilan naga mengapit jutaan nektar dalam rongga perut bunga matahari. kura-kura yang menonton video mesum di handphone, terbelalak saat salah satu naga itu mendendangkan lagu dari armada. mau dimana kemana hubungan kita? jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah katakan cinta. kupu-kupu jadi malu dengar lagu syahdu bercengkok melayu. dia jadi malu karena dia ingin bernyanyi lagu itu tapi sendiri dalam ruang hampa udara yang tak ada manusia menatapnya sambil senyum-senyum karena ingin bernyanyi lagu itu sendiri tanpa ada orang lain menatapnya. Ter, La, Lu! Sungguh teganya dua kali dalam sehari kau menguyah dusta yang bergerigi tajam seperti mulut buaya yang menganga berliur dan meniupkan pendapat anggota DPR yang gemar mendengkur. Sampai kami harus bangun dari tidur karena mimpi kami dipenuhi oleh mereka yang lari dari sidang yang terhormat yang di sana tersaput makna nasib hidup nasib sampai mati jutaan rakyat yang melarat karena kita hanyalah keparat bertopeng bangsat yang atas nama mereka mengeruk keuntungan untuk liburan akhir pekan bersama seluruh keluarga. karena kita adalah wakil rakyat yang terhujat.

jahanam kau hakim yang menerima suap, teriak lalat tse tse yang berdemonstrasi di depan pagar kedutaan brazil. sementara di depan mereka, pohon-pohon cempedak meliuk-liukan badan sambil menarikan tari hujan gubahan para seniman pemenang nobel perdamaian. selami makna hidup maka kita akan terjauh dari badai kefanaan. sebuah gambar tempel milik istana kepresidenan meksiko menempel di jidat salah satu lalat tse tse itu. dalam diam yang sesaat saja, seorang tentara menembak mati seluruh pohon cempedak dan membakar jantung seluruh demonstran dengan gas kimia bernama hidup adalah perbuatan.

tanpa aba-aba dan penghormatan sebelumnya, tiba-tiba semua orang hidup tidak bahagia untuk sementara waktu.

Monday, June 7, 2010

Demi Laju Para Penarik Kereta Kegelapan


Demi ragu yang menggantung, ketika sebuah kebenaran diungkapkan.

Dalam lubang ini borok berjerawat tumbuh menjulang tidak ragu-ragu bagai lelaki jalang. Transendensi luka dubur sebuah rakyat negeri yang bertopeng warna warni suci. Gelap dalam monumen perlawanan perlahan bergerak berontak layaknya otak yang dikunci dalam sebuah kotak. Sementara terang menikmati traktiran makan penguasa yang menggelar hajatan. Pekat makin lekat makin jauh makin dalam terjun ke hisapan lebur lingkaran waktu tak bertuan. Semalam saja tak akan mampu kau dengarkan girang kami menatap borok yang lainnya.

Lelaki perempuan tertawa senang seperti kami. Seperti pemuja berhala berbaris rapi dalam undakan candi persembahan. Persetan dengan pembela kebenaran yang sibuk mencari hutang untuk menutup galian. Sibukkan saja diri kami dengan menggunjing dan menertawakan mereka yang tersungkur tercerai dari tali pegangan wahai dewa kehidupan. Bikin kami geram kepada diam. Bikin kami busuk dalam sekam. Bikin kami mentah, berair dan tak terselamatkan.


Tuesday, June 1, 2010

Di Tepian.


Indah sekali nyanyianmu wahai biduan. Suaramu jernih sedikit bergetar bikin penasaran. Mengumbarnya hingga wajar saja kau melakukannya. Tak mengaca kita patah sekian laku dari pinggir pantai. Sehabisnya nafas, kubiarkan jiwa ini tenggelam. Karena bukan aku, kaulah yang sepandainya berenang. Kecipak air mematahkan segala kenyataan.

Di tepian, aku berjalan perlahan jauh ke tengah. Sampai tinggi air laut menguburku dengan garam. Sampai luka lelah berteriak digerogoti air asin bertautan.

Di tepian, aku terbiasa mengulum dan menelan sedih sendirian.