Saturday, October 31, 2009

Sungguh. Leraikan percintaan kami. Begitu giatnya dia mengunduh asmara dari jiwa. Menyunting cinta yang serupa lentera yang bercahaya hitam. Memukau pedih suar yang terbenam dalam kelam peristiwa. Dengarkan kataku, kau adalah mayat dari seorang jejaka.

Jejaka itu adalah seekor betina hitam yang lapar dan dahaga. Seekor betina yang mengunduh sepi dari balik jeruji tinggi di depan halaman kuil Dewi Durga. Tempat kami dulu senang hati bercinta sampai orgasme berkali-kali. Sampai basah lekuk di antara perut dan paha kami. Sampai keringat itu jadi masam mengutuk lelah yang mengubah buram jadi makna.

Sungguh. Ceraikan pertikaian kami. Begitu lekatnya dia bersetubuh dengan paksa kosongnya dunia ini.

Luruh saja sana rasa!

Malu sekali kau mengakui dirimu adalah pemberani pemakan segala. Kau hanyalah sepi yang terlalu berani kepada seorang penakut sepertiku.

Thursday, October 29, 2009

An Afternoon Inside A Frosty Butter.


Sebuah sore di dalam mentega yang membeku. Seorang nenek dan seekor kucing peranakan. Sang nenek adalah perempuan berumur 88 tahun dengan senyum yang berwarna kelabu. Sekelabu bulu-bulu kucing peranakan serigala dan kucing persia yang terlelap melipat tubuh di pangkuannya. Suara nafas mereka lebih merdu dari suara bergesernya aurora menjadi badai yang bergelora. Bernafsu dan melenguh sambil meronta-ronta. Lebih dari itu.

Kerlingan adalah hiburan menarik bak letupan kembang api di malam pergantian tahun yang memesona. Jemari adalah mesin karatan yang enggan berdecit karena bibir mereka berkerut, carut marut, melilit bagai belut di kaki seorang petani yang turun ke ladang dengan harapan kosong tentang hidup yang membuat tersenyum.


Ampun! Jangan sakiti kami, kata jendela kepada heningnya suasana. Jangan pecahkan kami jadi beling yang berserak. Jadi sebab tubuhmu berdarah, luka dan bergairah akan sakit yang terdedah kala hati mulai percaya.
Jangan Tuan, jangan bangunkan mereka. Jangan buka pintu bagi wabah yang menyebar bangga merusak tanah, binatang liar dan tetumbuhan langka. Jangan buka ketidakadilan yang terbungkus kado bergambar lelaki dan perempuan yang gemar makan, minum dan berdansa di rumah ini. Karena sesungguhnya kami hanya ingin hidup sebagai benda yang bebas tertawa.

Di luar, ketipak-ketipung gendang menyurutkan niat kami menjadi bagian dari dunia yang semestinya. Di sini, kami, segelas kopi dan secangkir teh, menikmati hidup yang sepenuhnya tanpa rakus niat kami menguasai dunia.
Dengan senyum simpul lepas terurai, kami nikmati sebuah sore di dalam mentega yang membeku. Menikmati sebuah hidup yang teramat plastik untuk menjadi cantik bagi mata, telinga dan hati mereka.

Friday, October 23, 2009

Midnight Writers Club

Tengah malam lebih tiga menit. Suara speaker murahan dengan volume kecil yang mengisi ruangan ini terdengar cukup brilian. Apa kata lain dari sepi? Bukan, bukan sunyi. Ada lagi yang lain. Yang lebih jarang digunakan oleh para penulis-penulis siang hari. Lalu apa bedanya penulis siang dan penulis malam? katamu dalam hati. Jika kau bertanya kepada dirimu sendiri, maka dirimu sendirilah yang berhak menjawabnya. Penulis siang menulis agar tulisannya dibaca oleh orang lain, jawabmu setengah berani. Tetapi sayang sekali, keberanian tidak selalu berbanding lurus dengan kebenaran. Bukankah kita selalu lebih berani melakukan sesuatu yang salah daripada melakukan yang benar? Kenapa? Tanya lagi pada diri kita masing-masing. Setiap balon udara yang keluar pelan-pelan dari balik kepala kita adalah jawabnya. Kadang kita pura-pura tidak melihatnya. Aatau kadang memang tidak ingin melihatnya. Sudahlah, perdebatan yang kau inginkan itu sudah pernah ku bahas dengan sekelompok manusia. Dan jawabnya adalah, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Mengertikan maksudku? Tidak? ya sudahlah, mengetahui maksudku pun tak akan menguntungkan atau merugikanmu. Percayalah, seperti malam, penjelasanku akan membuatmu mengantuk.


Lengang jalanan seperti habis hujan. Seperti habis sudah waktu hari ini. Padahal pagi sudah datang, meski terang masih 300 menit lagi. Embun masih ditenun di rahim udara. Hasil persetubuhan antara malam dan pagi hari. Seraut muka menuliskan berita. Dihabiskannya ratusan bahkan ribuan kata. Kau menjadi subjek, sejumput warna yang jadi kata keterangannya. Pernahkan kah menguning pada dini hari? Membiru adalah hal yang biasa kawan. Aku bertanya, pernahkah kau menguning pada dini hari? Aku sudah pernah merasakannya. Di sebuah kamar yang sempit dan berkasur sekeras lantai yang kau pijak. Bersyukurlah atas lelah, karena dengannya kau akan bersyukur memiliki nyenyak. Karena nyenyaklah kau meminjam esok sebagai altar. Sebagai melodi untuk lirik-lirik puitismu.

Monday, October 19, 2009

Macan Kertas

Kau begitu membosankan. Macan kertas yang lepek diterpa hujan. Mendekam di sudut pesta dan meributkan komposisi langit malam yang tak karuan. Menari sendiri di kebun belakang ketika yang lain bernyanyi di ruang tengah. Kau hidup di sini tanpa impian yg keterlaluan. Kau pun terlihat biasa di tengah semua cerita yg mencengangkan. Sama seperti diriku, kau begitu membosankan.

Saturday, October 17, 2009

seperti inilah adanya.

memang ini yang saya suka. parsial, tidak fokus dan tak bermakna. sebuah hiperbola derai metafora. memaparkan pengibaratan hidup dengan sesuatu yang mirip dengannya. lebur saat tercebur bangga dalam kelam malam yang sementara. merakit, ungkit semua berita tentang pahlawan yang perkasa. ditemani seorang perempuan berambut gulali, kutempa jemari jadi baja. dari serpihan luka di lutut kiri yang kugores belati lalu sembuh seketika.

lalu berlari... berlari sampai shiva begitu utuh di depan mata.

ini salam perkenalan dari aku dan saya.