Thursday, October 29, 2009

An Afternoon Inside A Frosty Butter.


Sebuah sore di dalam mentega yang membeku. Seorang nenek dan seekor kucing peranakan. Sang nenek adalah perempuan berumur 88 tahun dengan senyum yang berwarna kelabu. Sekelabu bulu-bulu kucing peranakan serigala dan kucing persia yang terlelap melipat tubuh di pangkuannya. Suara nafas mereka lebih merdu dari suara bergesernya aurora menjadi badai yang bergelora. Bernafsu dan melenguh sambil meronta-ronta. Lebih dari itu.

Kerlingan adalah hiburan menarik bak letupan kembang api di malam pergantian tahun yang memesona. Jemari adalah mesin karatan yang enggan berdecit karena bibir mereka berkerut, carut marut, melilit bagai belut di kaki seorang petani yang turun ke ladang dengan harapan kosong tentang hidup yang membuat tersenyum.


Ampun! Jangan sakiti kami, kata jendela kepada heningnya suasana. Jangan pecahkan kami jadi beling yang berserak. Jadi sebab tubuhmu berdarah, luka dan bergairah akan sakit yang terdedah kala hati mulai percaya.
Jangan Tuan, jangan bangunkan mereka. Jangan buka pintu bagi wabah yang menyebar bangga merusak tanah, binatang liar dan tetumbuhan langka. Jangan buka ketidakadilan yang terbungkus kado bergambar lelaki dan perempuan yang gemar makan, minum dan berdansa di rumah ini. Karena sesungguhnya kami hanya ingin hidup sebagai benda yang bebas tertawa.

Di luar, ketipak-ketipung gendang menyurutkan niat kami menjadi bagian dari dunia yang semestinya. Di sini, kami, segelas kopi dan secangkir teh, menikmati hidup yang sepenuhnya tanpa rakus niat kami menguasai dunia.
Dengan senyum simpul lepas terurai, kami nikmati sebuah sore di dalam mentega yang membeku. Menikmati sebuah hidup yang teramat plastik untuk menjadi cantik bagi mata, telinga dan hati mereka.

No comments:

Post a Comment